1. Tidak terpenuhi dari pihak mahramnya siapa yang mengajarkan ilmu kepadanya.
Jika telah terpenuhi dari mahramnya –baik itu ayah, saudara, suami, anak dan yang semisalnya- siapa yang mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, maka menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.
Berkata Ibnul Jauzy rahimahullâh, “Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Maka wajib terhadapnya untuk menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan terhadapnya, agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan. Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan bagaimana cara menunaikan keawajiban-kewajiban tersebut, maka hal itu telah mencukupinya. Bila tidak, maka dia bertanya dan belajar.”[9]
Dan termasuk catatan penting yang harus diingat bahwa hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu tergantung jenis ilmu yang dia akan pelajari. Karena ilmu itu, ada yang sifatnya wajib ‘ain untuk dipelajari, dimana seorang muslimah kapan tidak mengetahuinya maka dia dianggap berdosa dan menelantarkan kewajibannya. Dan ada juga ilmu yang sifatnya fardhu kifayah, dimana kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lainnya dalam mempelajarinya.
Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang muslimah untuk mempelajari bagaimana cara memurnikan ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Maka sangat wajar bila memperlajari dan meyakini tauhid Rubûbiyah Allah, Ulûhiyah dan Al-Asmâ’ wash Sifât-Nya bersih dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokoknya.
Seorang muslimah juga wajib untuk memahami hukum-hukum seputar thahârah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan janâbah, tayyammum, ahkâm haidh, istihâdhah dan nifâs-. Sebagaimana dia juga wajib mendalami tuntunan sholat, zakat, haji dan puasa yang benar.
Juga wajib terhadapnya untuk mempelajari hukum Ihdâd, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar dari rumah dan lain-lainnya.
2. Ada keperluan yang mendesak untuk keluar.
Seperti bila seorang muslimah telah mengalami sebuah problemetika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i, sedangkan tidak ada dari mahramnya yang bisa menjelaskannya atau mempertanyakannya kepada seorang alim yang terpercaya.
Dan di masa ini, kita sepatutnya senantiasa bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada kita sehingga dengan sangat mudah untuk mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ilmi dalam jangka waktu yang singkat. Baik itu melalui media komunikasi, surat dan lain-lainnya.
Tentunya keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah lalu.
3. Bertanya kepada orang yang tepat.
Bila terdapat dari kalangan perempuan orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepadanya, maka tiada pilihan untuk bertanya kepada kaum lelaki. Dan demikian pula dari orang-orang yang berilmu dia memilih orang yang paling alim di antara mereka.
4. Terbatas pada keperluan.
Dalam posisi seorang muslimah bertanya langsung kapada seorang alim. Bila sang alim telah menjawab atau telah menjelaskan apa yang dia butuhkan, maka tidak boleh dia memperbanyak pembicaraan dengannya yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karenanya. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzâb :32]
5. Tidak boleh bercampur baur (ikhtilâth) dengan guru atau murid-murid lelaki yang ada di majelis.
Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ, dimana beliau mendengar Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar